Monday, March 20, 2023

Kumpulan Diskusi Atheis Dengan Imam Hanafi

Dimana Allah?

----------------------

Dari kitab Fathul Majid Syaikh Nawawi Al-Bantani. Diceritakan Abu Hanifah berhadapan dengan Raja Atheis, sebelum nanti berhadapan dg Gurunya. Sedikit pun ia tak merasa gentar harus berdebat dengan raja. Di sisi lain ia sangat yakin dengan mimpi gurunya sebelum berangkat, bahwa ialah pemenangnya nanti. Ia pun mulai terlibat perdebatan, tanya-jawab sengit dengan sang raja.

“Apakah Allah itu ada?”

“Iya”

“Di mana dia?”

“Dia tidak memiliki tempat berdiam”

“Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat?”

“Buktinya ada di badanmu sendiri”

“Apa itu?”

“Apakah badanmu memiliki ruh?”

“Iya”

“Di mana ruhmu? Apakah di kepala, apakah di perut, atau bahkan di kakimu?”

Sang raja pun kebingungan. Ia tak bisa menjawab. Untuk kali pertama, ia harus bungkam di hadapan anak muda. Tetapi Abu Hanifah belum puas dengan dalilnya. Beliau kemudian meminta segelas susu.

“Apakah susu ini memiliki lemak?”

“Iya,” jawab sang raja

“Di mana tempat lemaknya? Di atas atau di bawahnya?”

Abu Hanifah lantas menimpali, “Sebagaimana ruh tak dijumpai tempatnya, sebagaimana juga susu tak diketahui tempat lemaknya, Allah tidak memiliki tempat di alam semesta.”

“Lalu apa yang ada sebelum Allah dan sesudahnya?” Tanya raja untuk kedua kalinya kepada Abu Hanifah

“Tidak ada sesuatu apapun di depan maupun di belakangnya”

“Bagaima mungkin tergambar di pikiranku, sesuatu tak memiliki awal dan akhir?”

“Ini dalilnya juga ada di badanmu”

“Apa itu?”

“Apa yang ada sebelum ibu jari dan sesudah jari kelingkingmu?”

“Tak ada apapun sebelum ibu jari dan setelah kelingkingku”

“Maka seperti itulah Allah. Tidak ada sesuatu di depan atau pun di belakangnya, sebelum maupun sesudahnya.”

“Masih ada satu pertanyaan lagi,” kata sang raja, setelah dua pertanyaan berhasil Abu Hanifah jawab.

“Akan saya jawab, insyaallah.”

“Apa pekerjaan Allah sekarang?”

Mendengar pertanyaan terakhir itu, Abu Hanifah tidak langsung menjawab.

“Engkau kebalik. Seharusnya yang menjawab itu ada di atas singgasana, dan yang bertanya berada di bawahnya. Saya akan menjawab, seandainya kau bersedia turun.”

Sang raja turun dari singgasana mengiyakan, dan Abu Hanifah ganti menduduki singgasana sang raja. Ketika beliau di atas mimbar, raja mengulang pertanyaan tadi.

“Ayo apa pekerjaan Allah sekarang?” katanya

“Pekerjaan Allah sekarang ialah menjatuhkan kebatilan sepertimu, dari atas ke bawah. Dan Dia menaikkan orang yang benar (haqq) sepertiku dari bawah ke atas.”

Sang raja diam tak berkutik. Tiga pertanyaan yang diajukannya tak lagi membungkam lawan, justru ia takluk di hadapan anak muda, di bawah singgasananya sendiri. Dengan demikian, mimpi Syaikh Hammad benar. Melalui keistimewaan nalarnya itu, kelak Abu Hanifah dikenal sebagi imam mazhab paling rasional ketimbang para imam sesudahnya; Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal


Apakah Allah bisa dilihat, bisa disentuh? 

------------------------------------------------------------

Suatu hari, seorang ateis menanyai Imam Hanafi, "Apakah kamu melihat Tuhanmu?"

"Maha Suci Allah, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti,' (QS: Al-An'am: 103),"jawab Imam Hanafi.

"Apakah kamu menyentuhnya? Menciumnya? Atau merasakannya?"

"Maha Suci Allah, 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.'(QS: As-Syura:11)," jawab Imam Hanafi.

"Jika kamu tidak melihat-Nya, menyentuh-Nya, mencium-Nya, dan merasakan-Nya, bagaimana caramu membuktikan keberadaan-Nya?" tanya orang atheis tadi.

"Kamu ini benar-benar tak bisa berpikir! Apakah kamu melihat akalmu?"

"Tidak," jawab orang ateis.

"Apakah kamu menyentuh akalmu?"

"Tidak," jawab orang ateis itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apakah kamu mencium akalmu?"

"Tidak," jawab ateis.

"Apakah kamu merasakan akalmu?"

"Tidak," kata ateis.

"Kamu berakal atau gila?"

"Berakal," jawab ateis.

"Jika kamu benar-benar berakal, di mana akalmu?"

"Tidak tahu. Tapi dia ada," jawab ateis.

"Demikian pula Allah Tabaraka wa Ta'ala," kata Imam Hanafi.


Mungkinkah Kapal Tanpa Nahkoda

------------------------------------------------------

Di suatu sore, Imam Abu Hanifah sedang duduk santai di Masjid tempat beliau mengajar. Tiba-tiba sekelompok orang ateis menghampiri Imam Abu Hanifah. Mereka ingin menyakiti Imam Abu Hanifah.  

Meski tahu para ateis itu mau menyakitinya, Abu Hanifah tetap mau berbagai hikmah. Sehingga ketika mereka ingin  menyakitinya, Abu Hanifah menyampaikan beberapa pertanyaan.

"Tunggu!" pinta Abu Hanifah. 

"Aku punya satu pertanyaan sederhana untuk kalian," katanya. 

"Setelah aku mengutarakannya dan kalian bisa menjawabnya, maka lakukanlah apa saja yang kalian inginkan kepada diriku," tegas Imam Abu Hanifah. 

"Apa yang hendak engkau tanyakan kepada kami, wahai Imam? " tanya orang-orang atheis itu" 

"Bagaimana pendapat kalian jika ada seseorang berkata barusan aku melihat sebuah kapal yang memuat barang-barang bawaan serta penuh dengan penumpang." 

"Kapal itu ada di tengah laut yang sangat dalam dan dikelilingi oleh ombak besar. Kemudian badai menghempas kapal itu dari segala penjuru. Namun, kapal itu tidak goyang. Ia berjalan dengan lurus dan seimbang." 

"Kapal itu tidak memiliki nakhoda atau pelindung yang menjaganya,"kata Imam Abu Hanifah. 

"Apakah berita itu dapat diterima akal? Imam Abu Hanifah kembali bertanya. 

"Tidak. Berita itu tentu tidak dapat diterima dan dimengerti oleh akal siapapun," jawab orang-orang ateis.  

"Subhanallah jika akal saja tidak dapat menerima berita tentang sebuah kapal yang berjalan di atas laut dengan dikelilingi ombak dan badai, namun tetap berjalan seimbang tanpa penjagaan nakhoda. Lalu bagaimana dengan bumi ini apakah hamparan bumi ini yang luas ini bisa berdiri tegak tanpa ada pencipta dan penjaganya? "Tegas Imam Abu Hanifah. 

"Anda benar, wahai Imam dan keyakinan kami yang salah," ujar orang-orang ateis itu dan mereka pun menangis.  

Kemudian pedang-pedang yang sudah terhunus, mereka masukkan kembali ke sarungnya. Selanjutnya orang-orang ateis itu menyatakan bertaubat dan kembali kepada ajaran Allah ﷻ yang benar. 


Mungkinkah Perahu Terbuat Dengan Sendirinya

----------------------------------------------------------

Suatu hari orang-orang Atheis berdebat dengan Abu Hanifah soal keyakinan ini. Karena perdebatan berlangsung lama dan tak kunjung selesai, Abu Hanifah minta debat ditunda beberapa hari. Mereka pun menentukan hari dan waktu debat berikutnya.

Tiba jam yang disepakati, Abu Hanifah belum tiba di lokasi. “Mana Abu Hanifah? Ia terlambat, tak menepati janji?” kata orang-orang Sumaniyah kepada kaum muslimin yang hendak menyaksikan perdebatan itu.

“Mengapa kamu terlambat? Kemarin kamu mengatakan Allah itu ada dan memperhitungkan semua amalmu, mana bukti semua kata-katamu?” seorang tokoh Sumaniyah segera mencerca dengan serentetan pertanyaan begitu Abu Hanifah datang.

“Wahai semuanya,” jawab Abu Hanifah yang ternyata sengaja datang terlambat, “Jangan terburu-buru menilaiku. Saat aku hendak menyeberangi sungai, aku tidak mendapatkan perahu. Tak ada satu pun perahu di sana.”

“Lalu bagaimana kau bisa kemari?”

“Ada sesuatu yang aneh terjadi”

“Aneh? Apa itu?”

“Aku berdiri di tepi sungai. Menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari barangkali ada perahu, sambil berharap semoga Allah memudahkanku datang kemari. Tiba-tiba, secara kebetulan ada angin berhembus kencang. Lalu ada petir besar menyambar. Jika ia menyambar rumah, mungkin rumah itu akan roboh. Tapi secara kebetulan petir itu menyambar sebuah pohon besar, lalu pohon tersebut terbelah menjadi dua. Secara kebetulan, robohnya ke sungai. Lalu secara kebetulan datanglah potongan besi dan ada dahan yang masuk ke sana membentuk kapak. Secara kebetulan kapak itu bergerak-gerak menghantam potongan pohon tersebut dan jadilah sebuah perahu. Tak berhenti di situ, ada dua ranting yang jatuh ke sungai dan menempel di sisi kanan dan sisi perahu, setelah itu perahu tersebut mendekat padaku dan aku naik.

Begitu aku di atasnya, perahu itu mendayung sendiri dengan cepat hingga aku bisa tiba di sini. Nah, begitu ceritanya. Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita, apakah alam semesta ini tercipta secara kebetulan atau tidak?”

“Tunggu sebentar! Kau ini waras atau tidak?” tanya mereka yang masih terheran-heran dengan cerita Abu Hanifah.

“Waras”

“Tapi ceritamu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sebuah perahu bisa tercipta dari petir yang menyambar secara kebetulan lalu terpotong secara kebetulan dari pohon dan ranting jatuh menempel di sisi kanan dan kiri perahu. Tidak mungkin. Untuk membuat perahu dibutuhkan orang yang mengerjakannya, memotong kayunya, memasang tali, membuat sampan dan seterusnya.”

“Subhanallah,” jawab Abu Hanifah, “Kalian mengatakan bahwa langit, bumi, gunung, laut, manusia, hewan, matahari, bulan dan bintang semuanya da secara kebetulan; tapi mengapa kalian tak percaya bahwa ada satu perahu yang tercipta secara kebetulan?” jawaban itu membuat orang-orang atheis Sumaniyah terbungkam. Mereka tak berkutik.


No comments:

Topik Sebelumnya

Penting:
Silahkan memperbanyak atau menyebarkan materi-materi dalam situs ini tanpa ijin apapun dari penulis.

Visitors/Hits