Saturday, April 08, 2023

QnA Seputar Metode Penentuan 1 Syawal Muhammadiyah Dan Ormas Lain

Idul Fitri tahun 2023 ini hampir bisa dipastikan Muhammadiyah akan berbeda dengan yang lainnya. Dari perhitungan (hisab) disimpulkan sbb:

- Pihak 1: Muhamadiyah, Idul Fitri tanggal 21 April 2023, Jumat

- Pihak 2: Pemerintah dan Ormas Lain, Idul Fitri tanggal 22 April 2023, Sabtu

Apa penyebab perbedaan tsb? Apakah metode? Bukan!

Saat ini hampir bisa dikatakan kedua Pihak sudah menggunakan metode yang sama yaitu Hisab. Lalu dimana bedanya? Beda di penetapan kriteria saja. Muhammadiyah kriterianya >0 derjat untuk ketinggian hilal, sedangkan Pemerintah menetapkan kriteria >=3 derjat untuk ketinggian dan elongasi >=6.4 derjat.

Ilustrasi:

Ilustrasi diatas: dengan alat yang sama Dokter A menganggap pasien dengan suhu 36.6 demam. Sedangkan Dokter B menetapkan pasien tsb belum demam. Sebab patokan yang digunakan berbeda. 

Dokter A: deman jika  suhu tubuh > 36 derjat

Dokter B: demam jika suhu tubuh >= 37 derjat

Baru-baru ini beredar video pendek lewat WAG yang intinya menyatakan:

1. Metode Muhammadiyah adalah mutakhir, karena berbasis perhitungan komputer (hisab).

2. Kelompok yang menetapkan 1 Syawal dengan cara meneropong, sudah ketinggalan zaman, alias kolot, karena berbasis penglihatan mata (rukyat).

Sepanjang yang penulis sudah mengikuti hisab dan rukyat ini dari tahun 2005 sampai sekarang, maka penulis menyatakan bahwa video yang viral tsb keliru.

Berikut beberapa QnA:

1. Metode hisab Muhammadiyah sudah paten, sejak dari dulu. Konsisten dengan itu.

Tidak juga.

Muhammadiyah pun sepanjang perjalanannya mengadakan perubahan metode maupun kriteria. 

Merujuk ke Jurnal tulisan Mawardi pada Al-Manahij Vol 15 No. 1, Juni 2021 berjudul “Renewing the Thoughts of the Hijri Calendar of Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama and Persatuan Islam and Its Implications for Realization of National Hijri Calendar” pada awalnya Muhammadiyah menggunakan hisab haqiqi taqribi, kemudian menggunakan hisab haqiqi tahqiqy dengan kriteria imkan ru’yah (IR) tahun 1937. Kemudian berubah menjadi hisab dengan kriteria ijtima’ qoblal ghurub. Lalu diubah lagi menjadi hisab dengan kriteria wujudul hilal (WH) 1938. 

Pada Kongres ke 28 di Medan tahun 1939, Muhammadiyah memutuskan umat Muslim bisa berpuasa dengan melihat hilal (rukyat), atau dengan menghitung (hisab). Pada Kongres ke 32 tahun 1953 Muhammadiyah menetapkan rukyat dan hisab dapat digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, walaupun pada tahun itu Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih condong ke hisab.

Tahun 1972, Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Kongres tanggal 23 - 29 April, memutuskan bahwa akan menggunakan metode hisab saja.

Pada Konfrensi Nasional di Padang, tanggal 3 - 5 Oktober 2003, Muhammadiyah menegaskan menggunakan hisab haqiqy dg kriteria wujudul hilal, degan penekanan Indonesia dianggap satu mathlak, dan menyerahkan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Muharram kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, jika kemunculan hilal membelah wilayah Indonesia. Tahun 2015 pada Kongres di Makasar telah ada inisiatif Kalender Hijriah Global versi Muhammadiyah dengan mengadopsi kriteria tertentu. Demikian kutipan Jurnal tulisan Mawardi.

Pada 22 September 2015, di Istana Merdeka, PP Muhammadiyah bertemu dengan Presiden Jokowi menyampaikan usulan pembentukan Kalender Hijriah Global. Pada tahun 2016, Muhammadiyah menggunakan Kriteria Imkanur Rukyat Turki dalam pembuatan Kalender Hijriah Global. Tanggal 20 Agustus 2020, Media Sosial Muhammadiyah Facebook dan Twitter dengan bangga mempersembahkan Kalender Hijriah Global sebagai kado untuk Muktamar ke 48. Download Kalendernya disini.

Dikutip dari situs Majelis Tarjih Muhammadiyah, metode yang digunakan sbb: 

Awal bulan baru dimulai apabila terjadi imkan rukyat di belahan bumi manapun sebelum pukul 12 malam (00.00 GMT/07.00 WIB) dengan syarat ketinggian hilal minimal 5º dan elongasi minimal 8º pada saat terbenam matahari.

Sumber: https://tarjih.or.id/unduh-kalender-islam-global-1443-hijriah/

Kriteria Turki 5-8 yang digunakan oleh Muhammadiyah ini jauh lebih tinggi dari Neo MABIMS 3-6.4, sehingga Prof. T. Djamaluddin berkomentar sbb:

Jadi kalau Muhammadiyah bisa mengambil kriteria Turki, maka semestinya lebih baik menggunakan kriteria bersama [3-6,4] sehingga tidak terjadi lagi perbedaan Muhammadiyah dengan Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya.

Dari kronologis penjelasan diatas, jelas terlihat bahwa Muhammadiyah pun pada dasarnya bertansformasi menggunakan beberapa metode dan kriteria.

2. Metode hisab dengan kriteria wujudul hilal seperti yang digunakan Muhammadiyah adalah metode yang paling top, paling mantap...

Jika benar demikian negara mana yang menetapkan Idul Fitri dengan metode hisab wujudul hilal?

Sepanjang yang penulis ketahui: Tidak ada! Jika ada tolong sebutkan negara mana dan referensinya.

Sebaliknya negara-negara lain sekarang bergerak dari rukyat ke hisab Imkanur Rukyat dengan kriteria baru. Minimal negara2 yang menetapkan menggunakan kriteria Neo MABIMS, ataupun negara yang menggunakan kriteria yang mendekati rukyat (Kriteria Odeh, Ilyas, dll).

Tidak ada negara yang menetapkan dengan kriteria ketinggian > 0 derjat (spt yang dilakukan Muhammadiyah).

3. Apa betul ada kerancuan penggunaan kata “hilal” dalam istilah “wujudul hilal”?

Menurut penulis iya.

Kalau dibaca wujudul hilal ini maksudnya hilal telah wujud. Ini rancu. Sebab hilal itu merujuk ke cahaya pantulan kecil sinar matahari di bagian bawah bulan (untuk new moon).

Dengan menggunakan kriteria wujudul hilal, dimana dipersyaratkan matahari terbenam, namun bulan baru (new moon) masih muncul di ufuk walaupun dekat ke 0 derjat ketinggian nya. Dalam kondisi ini, bulan yang muncul di horizon hanya pucuk (bagian atas) bulan. Bagian atas tsb pada new moon ini apakah tersinari? Tidak.

Justru bagian bawah yang tersinari. Sedangkan bagian bawah bulan tsb sudah tenggelam. Ini kontradiksi dalam istilah. Hilal wujud. Tapi hilalnya sendiri sudah tenggelam. Hanya pucuk atas bulan yang nongol di ufuk dan itu tidak ada hilalnya (karena hilal itu adanya di piringan bawah bulan). 

Lebih tepat tidak menggunakan istilah hilal dalam terminologi wujudul hilal. Lebih pas disebut yang wujud itu new astranomical moon saja (القمر الجديد), bukan hilal itu sendiri. 

Mengutip Prof. T. Djamaluddin kriteria wujudul hilal (WH) yang digunakan Muhammadiyah. Walau namanya menggunakan "hilal", namun sebenarnya yang dianggap wujud bukanlah hilal. Kriteria itu mensyaratkan bulan terbenam lebih lambat daripada matahari dan ijtimak sudah terjadi sebelum maghrib. Dari definisi tersebut jelas syarat minimalnya adalah piringan atas bulan masih berada di atas ufuk (secara hitungan) pada saat maghrib. Itu bukan hilal, karena bagian itu tidak tercahayai.”

Ahli Falak Muhammadiyah pun pada dasarnya setuju bahwa, hilal yang dimaksud bukan seperti maklumat majelis Tarjih, tapi piringan bawah bulan. Lihat referensi ini.

4. Tapi kan hanya Muhammadiyah yang konsisten dari awal menggunakan hisab?

Hampir semua organisasi besar di Indonesia ini dari sejak awal berdirinya menggunakan hisab dengan perhitungan kasar/pendekatan (taqriby). Sebab zaman sebelum era komputasi, perhitungan falak masih sangat sederhana. Dan hasil perhitungan tsb (hasil hisab taqriby) divalidasi dengan rukyat.

Berdasarkan penjelasan dalam Jurnal tulisan Mawardi yang disebutkan diatas, NU secara tegas menetapkan sebelumnya bahwa hisab hanya panduan untuk merukyat. Namun tahun 1998 terjadi perubahan paradigma, dimana NU mulai mengganggap hisab itu setara dengan rukyat. NU bisa menerima hisab dengan kriteria Imkanur Rukyat MABIMS yang lama, yaitu 2-3-8.

Bahkan pada tahun 2022 lalu, NU telah mengadopsi kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) dan akan menolak rukyat  (dengan teropong sekalipun) jika rukyat tidak memenuhi hisab kriteria Neo MABIMS. Artinya terjadi perubahan paradigma menjadikan hisab kriteria Neo MABIMS menjadi rujukan utama. Ini lompatan yang sangat progressif.

Spt dikutip dari tulisan Muhammad Abduh Tuasikal sbb:

Namun demikian, NU kini telah mengadopsi kriteria baru MABIMS (Neo MABIMS) yaitu tinggi hilal minimal 3° dan jarak elongasi minimal 6,4°.

Kriteria ini selain digunakan oleh NU untuk menyusun kalender hijriah juga digunakan untuk menolak kesaksian di bawah kriteria tersebut. Dengan demikian kalaupun nanti Kamis, 29 Ramadhan 1444 H/20 April 2023 ada yang mengaku melihat hilal, maka akan ditolak. Sebab, belum memenuhi kriteria imkan rukyat Neo MABIMS.


Sumber https://rumaysho.com/36478-polemik-idul-fitri-2023-dan-penetapan-1-syawal-1444-h.html#

Lebih jauh, di internal Muhammadiyah sendiri terjadi keterbelahan sikap, khususnya dari Buya Hamka, yang awalnya gigih dengan WH, lalu kemudian putar haluan 180 derjat mendukung Rukyat, dan hisabpun beliau bersetuju dengan Saadudin Djambek dengan hisab mar'i, bukan hisab WH. Hamtaman keras didapatkan Hamka krn berputar haluan ini. Baca "Saya kembali ke Rukyah".

Bagaimana dengan PERSIS (Persatuan Islam)?

PERSIS termasuk ormas besar setelah NU dan Muhammadiyah.

A. Hassan sebagai pendiri PERSIS dari awal sudah menyatakan bahwa hisab adalah metode yang layak digunakan untuk menentukan kalender Islam. 

PERSIS dalam perjalannya konsisten dengan metode hisab, dan tidak bergantung ke Rukyat bil fi'li.

Mengutip Mawardi dalam Jurnal diatas, PERSIS dari tahun 1960 - 1995 menggunakan metode hisab ijtimak qoblal ghurub. Pada tahun 1995-2001 PERSIS mengubah nya menjadi metode hisab wujudul hilal (sama seperti yg digunakan Muhammadiyah saat ini). Akan tetapi PERSIS tahun 2002 mengubah kriteria hisabnya menjadi kriteria Imkan Rukyat MABIMS 2-3-8. Dan dari tahun 2022 kemaren PERSIS kembali memperbaharuinya yaitu mengikuti hisab kriteria Imkan Rukyat Neo MABIMS 3-6.4.

Terlihat disini, yaitu PERSIS (yang kadang diidentikkan dengan Saudara muda Muhammadiyah) yang dulunya menggunakan hisab Wujudul Hilal, telah beralih ke hisab Neo MABIMS, spt yang dianut NU. 

Sebuah transformasi besar.

Sikap PERSIS tsb utamanya untuk mendekatkan hasil hisab dengan ru’yat. Dimana dengan kriteria Neo MABIMS diyakini tidak ada lagi perbedaan hasil hisab dan rukyat. Tujuannya satu: Persatuan Umat.

Kalau WH adalah ijtihad, IR juga ijtihad, dan sama2 hisab, kenapa tidak bisa diupayakan ijtihad baru dengan satu kriteria yang bisa menyatukan ummat? Kenapa harus tetap kukuh dg wujudul hilal yg > 0 derjat itu? 

Bagaimana dengan Arab Saudi?

Arab Saudi konsisten sampai saat ini menggunakan rukyat bil fi’li. Kalau begitu tradisional sekali, ya? Saudi kolot sekali, ya? Kalau begitu Saudi tidak bisa menetapkan kalender Hijriah tahun depan, ya?

Tidak juga!

Saudi sudah dari lama membuat kalender Hijriah untuk beberapa tahun ke depan. Kalender ini disebut Kalender Ummul Quro. Kalender ini murni berbasis hisab dengan kriteria new moon terjadi sebelum matahari terbenam, atau sebelum tengah malam lewat.

Kalendar Ummul  Quro ini pun sudah bertransformasi kriteria hisabnya. Mengutip Departement Sains Universitas Utrech Belanda, transformasi metode hisab Ummul Quro Saudi ini sbb:

I. Sebelum 1392 H (1972 Masehi) : hisab dengan kriteria ketinggian hilal > 9 derjat

II. Periode 1972 - 1999 : hisab dengan kriteria new moon terbit < 3 jam dari tengah malam waktu Saudi (dengan kata lain new moon terjadi sebelum 00.00 UTC)

III. Periode 1999 - 2002 : hisab dengan kriteria tanggal 29 bulan baru telah terbit sebelum matahari terbenam, jika belum terbit digenapkan jadi 30

IV.  Periode 2002 sd sekarang: hisab dengan kriteria tanggal 29 bulan baru telah terbit sebelum mahahari terbenam dengan perhitungan metode geosentrik

Artinya Arab Saudi yang sering di-asosiasikan tekstual dalam membaca dalil, sudah menggunakan metode hisab ini sejak sebelum tahun 1972. Hanya saja memang, khusus untuk hari-hari besar, hasil hisab ini akan di adjust dengan rukyat bil fi’li (rukyat menggunakan mata atau teropong).

5. Kalau Saudi juga menggunakan hisab pada kalender Ummul Quro, kapan Saudi Idul Fitri tahun 2023 ini?

Kasus Kalender Ummul Quro dengan metode hisab di Saudi ini agak problematik. Mengutip situs Al-Habib:

In the past, there had been controversies regarding this calendar. Many of them centraled on the discrepancy of the beginning of the month and the calculated position of the crescent (or new moon) at sunset in Makkah. It was not uncommon that the new month begins although astronomically the moon already sets before the sun sets. Another source of the controversy was the obscure nature of the rules used to design or to determine the dates in the calendar. 

Disatu sisi hisab menggunakan kriteria yang mirip dengan ijtimak qoblal ghurub, atau mendekati kriteria WH, yang mana syarat > 0 derjat ini. Ada situasi2 dimana hilal sangat sangat rendah, tapi di Kalender Ummul Quro sudah dihitung sebagai bulan baru.

Sering juga terjadi dimana seharusnya secara astronomis tidak mungkin atau sulit terlihat, maka perukyat di Saudi kadang dalam tekanan untuk menyamakan hasil rukyat dengan Kalendar Ummul Quro. Biasanya karena pemerintah sudah ada agenda tertentu di tanggal2 tertentu. Agenda ini ditetapkan jauh-jauh hari dengan menggunakan kalender hisab Ummul Quro. 

Bisa dibayangkan situasinya dimana pejabat tinggi Saudi telah menetapkan acara, tenda2 telah berdiri, tamu2 sdh berdatangan, catering sudah ready, eh ujug2 acara ditunda 1 hari, karena hilal tidak tampak. Kasus2 seperti ini menambah pressure bagi perukyat di Saudi untuk mencoba mencocokkan hasil rukyat dengan Kalender Ummul Quro, walaupun hilal secara astronomis sangat mustahil terlihat.

Dalam kasus Idul Fitri 2023 di Saudi bisa dibaca tulisan Taufik Ginanjar, dari Dewan Hisab dan Rukyat PERSIS. Taufik menjelaskan, hilal belum memenuhi kriteria Neo MABIMS, namun kalendar Ummul Quro beberapa tahun sebelumnya telah mencatat 1 Syawal 1444H jatuh pada Jumat 21 April 2022, maka tidak menutup kemungkinan walau secara astronomis hilal sulit di rukyat, tapi ada beban psikologis bagi perukyat di Saudi untuk menganggap objek yang bercahaya dikala senja matahari terbenam sebagai hilal. Sehingga di duga Saudi akan Idul Fitri Jumat 21 April 2022.

Mengutip Taufik Ginanjar dari Dewan Hisab dan Rukyat PERSIS:

Namun di Arab Saudi rawan terjadi kesalahan rukyat. Hilalnya tidak ada, tapi suka ada laporan melihat hilal. Hal ini seperti dikatakan Dr. Aiman Kurdi dari Physics and Astronomiy Departement, King Saud University Riyadh adalah disebabkan tekanan psikologis perukyat yang dituntut sama dengan kalender Ummul Qura. Perlu diketahui dalam Kalender Ummul Qura 1 Syawal 1444 H tercantum Jum'at, 21 April 2023. Hingga inilah yang biasanya menjadi penyebab adanya beberapa laporan melihat hilal, padahal secara ilmiah menurut kriteria visibiltas hilal (imkan rukyat) hilal belum bisa dilihat di Arab Saudi.

6. Muhammadiyah sering sama Idul Adha ataupun Idul Fitri dengan Saudi. Bukankan itu membuktikan Metode Muhammadiyah paling paten? Sholat saja bisa dibuat kalendarnya, masa Idul Fitri tidak bisa dihitung?

Banyak video2 yang beredar menggunakan argumentasi ini. Yang luput dalam penjelasan2 video tersebut adalah: bahwa Sholat itu mengikuti peredaran matahari yang tiap tahunnya tetap. Sedangkan penentuan bulan-bulan Islam itu mengikuti peredaran bulan. Jadi, jangan disamakan metode menentukan jadwal sholat dengan jadwal Idul Fitri misalkan.

Sebagai contoh: Sholat Magrib di Jakarta tanggal 8 April 2023 pukul 17.58 WIB. Demikian juga nanti tahun2 depan (2024, 2025, dst) pada tanggal yang sama juga pukul 17.58 WIB. 

Berbeda dengan Idul Fitri. Dari tahun ke tahun dia lebih cepat beberapa hari (10 sd 11 hari) dalam kalender Masehi. Idul Fitri 2022 tanggal 2 Mei 2022. Idul Fitri 2023, tanggal 22 April 2023 (lebih cepat 10 hari).

Terkait banyaknya kesamaan antara Idul Fitri/Adha Saudi dengan Muhammadiyah, ini tidak terlepas dari kontroversi kalender Ummul Quro seperti dibahas sebelumnya.

Tapi apakah tidak mungkin dibuat kalendar?

Ya pasti bisa!

Baca penjelasan diatas. NU, PERSIS, Muhammadiyah, bahkan Saudi sendiri membuat kalendar dengan metode hisab. Saudi sendiri menggunakan hisab untuk Kalender Ummul Quro nya, walaupun kriterianya di dalam negeri Saudi sendiri banyak di kritisi oleh kalangan astronom disana.

Loh sudah ada kalender kok masih berbeda?

Ini tergantung sikap pemerintah masing-masing. Apakah mencukupkan diri dengan kalender hisab, atau seperti Saudi mematenkan bahwa untuk khusus hari besar, kalendar hisab hanya pedoman, keputusan final pada hari H dengan melakukan rukyat.

7. Salah satu pakar Muhamadiyyah Prof. Agus Purwanto berpendapat WH pada dasarnya sama saja dengan IR 0 derjat. Jadi kenapa tidak kelompok Pengguna IR Neo MABIMS ikut saja ke Muhammadiyah menggunakan WH 0 derjat?

Ini secara astronomis kontradiktif. Tidak mungkin hilal dapat dilihat dalam kondisi IR 0 derjat. Soalan ini dari aspek astronomis, panjang lebar dibahas disini. Penulis tidak mengulang lagi.

Penulis hanya menambahkan dari sudut empiris. Sangat tidak mungkin menerapkan IR 0 derjat tsb, karena:

1. Pemerintah sekarang atau nanti (baik Presiden, Khalifah, Raja, atau Perdana Mentri sekalipun) harus mengayomi kelompok pengamal Rukyat.

Kelompok ini akan tetap ada sampai kapanpun. Karena text hadist dan Quran nya memang menyebutkan Hilal (هلال) atau Ahillah (أهلة jamak dari هلال) seperti tertulis di QS 2:189. Ataupun hadist صوموا لرؤيته (berpuasalah dg melihatnya), dhomir ـه pada لرؤيته merujuk kepada hilal.

Praktek melihat hilal ini sudah dilakukan di masa sahabat Rasulullah SAW. Mereka menggunakan penampakan hilal ini untuk: menentukan kapan masuk waktu ibadah, menghitung batas iddah istri2 mereka, dan mengetahui waktu haji (Tafsir Ibn. Katsir QS 2:189). 

Akan selalu ada kelompok tekstualis yg menggunakan dasar kenampakan hilal tsb. Kembali ke teks secara harfiah sebagai pendalilan, tidaklah salah, bahkan terkadang lebih selamat daripada terlalu jauh menggunakan ta'wil.

Kalau digunakan IR 0 derjat spt pendapat Prof Agus tsb sudah pasti kelompok tektualis ini akan teralineasi. Sebab mustahil hilal akan terlihat dalam kondisi 0 derjat. Dimana persatuan ummat? Bagaimana peran penguasa jika mengalineasi kelompok tekstualis tsb? Ini bukan solusi.

2. Hilal yang dimaksud pada Wujudul Hilal sendiri rancu secara definisi. Lihat pembahasan point 3 sebelumnya. Bagaimana kelompok yg jelas definisi hilalnya mengikuti kelompok yg rancu definisi hilalnya?

3. Faktanya Muhammadiyah bisa menerima kriteria Turki 5-8, yang jauh dari WH 0 derjat, dan jauh dari Neo MABIMS 3-6.4. Kenapa kriteria yg jauh (Turki) diterima, kriteria negara-negara sekitaran yaitu Malaysia, Brunei, Indonesia, dan Singapore (disingkat MABIMS) Muhammadiyah menolaknya?

8. Kenapa Muhammadiyah diminta menurunkan Egonya? Kenapa tidak Pemerintah atau Ormas lain atau Astronom yang menurunkan Ego nya untuk menerima kriteria hisab wujudul hilal?

Seperti uraian diatas, dari Jurnal ilmiah Mawardi, jelas NU sudah menurunkan Ego nya. NU mau tidak berpatokan ke Rukyat tapi ke hisab. NU juga menurunkan Ego nya, sewaktu mau mangubah kriteria ke Neo MABIMS.

PERSIS, demikian juga, sudah menurunkan Ego nya dengan mau mengubah kriteria ke Neo MABIMS. 

Astronom yg berseberangan dengan Muhammadiyah yaitu Prof. T. Djamaluddin juga sudah menurunkan Ego nya dengan mau menerima usulan dari NU basis perhitungan elongasi menggunakan Geocentric bukan Topocentric. Walaupun kriteria Neo MABIMS itu sumber utamanya adalah penelitian Odeh, yg menggunakan perhitungan elongasi berdasar Topocentric. Beliau mau menerima hal ini demi Persatuan Umat.

Kutipan dari penjelasan Prof. T. Djamaluddin:

demi mencapai titik temu utk kemaslahatan ummat. Saya hilangkan ego saintifik saya untuk menuju titik temu, walau saya yakin yang lebih tepat adalah elongasi toposentrik.

9. Eh kalau harus liat2 ke langit terus, kenapa kamu sholat liat jam? Kenapa tidak keluar liat bayangan? Kan hadist waktu2 sholat itu salah satunya liat panjang bayangan? Gak konsisten kamu. Giliran waktu sholat liat aplikasi di HP..

Begini ya, cara melihatnya. Kalau jam di hp, atau aplikasi waktu sholat bisa sama dengan hasil melihat bayangan, ya silahkan pakai metode liat ke jam, atau aplikasi di hp tsb. Gak perlu kamu repot2 keluar ruangan liat bayangan kamu atau bayangan tongkat.

Nah, sama juga. Kalau hisab kamu bisa sama hasilnya dengan liat ru'yat ke luar, ya silahkan pakai itu hisab.

10. Capek ah beda Idul Fitrinya. Akan seperti ini terus?

Ya, jika Muhammadiyah masih pakai WH, potensi Idul Fitri berbeda, spt tabel ini.


Dan potensi Idul Adha juga berbeda, spt tabel ini.

Sumber: Najib Mubarok.

11. Jika memang abad modern ini semua negara, semua ormas sudah pakai hisab kenapa di Indonesia masih sidang Itsbat? 

Pemerintah masing-masing negara tetap perlu menetapkan kapan resminya 1 Syawal. Hanya saja pemerintahnya menetapkan itu berdasarkan apa?

Di Indonesia umumnya menggunakan Rukyat. Demikian juga dengan beberapa ormas-ormas kecil menetapkan dengan Rukyat.

Ormas-ormas besar seperti NU dan PERSIS sudah mulai menuju SATU TITIK. Satu titik itu dimana diyakini hasil hisab dan rukyat akan bertemu. Dengan cara apa? Dengan cara mengadopsi kriteria baru Neo MABIMS.

Penulis yang sejak dari 2005 mengamati masalah ini, percaya bahwa, setelah kriteria baru ini diterapkan, waktu yang akan membuktikan bahwa hasilnya akan sama dengan rukyat bil fi'li. Negara2 lain yang juga masih mengalami kontroversi antara kalender hisab vs Rukyat (spt Saudi) akan menuju kriteria baru ini. Dan suatu saat nanti tidak diperlukan lagi sidang itsbat. Atau setidaknya sidang itsbat cukup diadakan diawal tahun untuk semua hari2 besar di tahun tersebut.

Wallahu A’lam

Referensi:

Mawardi, "Renewing the Thoughts of the Hijri Calendar of Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama and Persatuan Islam and Its Implication for Realization of National Hijri Calendar", Al Manahij Vol 15 No.1, June 2021, 19 - 36

T. Djamaluddin, "Sekali Lagi Membedah Akar Masalah Perbedaan Awal Ramadhan dan Hari Raya", https://tdjamaluddin.wordpress.com/2023/03/13/sekali-lagi-membedah-akar-masalah-perbedaan-awal-ramadhan-dan-hari-raya/, diakses 8 April 2023

Muhammad Abduh Tuasikal, "Polemik Idul Fitri 2023 dan Penetapan 1 Syawwal 1444H", https://rumaysho.com/36478-polemik-idul-fitri-2023-dan-penetapan-1-syawal-1444-h.html, diakses 8 April 2023

____ Department of Science Utrecth University, "The Astronomical Rules Governing The Umm al-Qura Calendar", https://webspace.science.uu.nl/~gent0113/islam/ummalqura_rules.htm, diakses 8 April 2023

Al Habib, "Ummul Qura Calendar of Saudi Arabia: A Short Introduction", https://www.al-habib.info/islamic-calendar/ummulqura.htm, diakses 8 April 2023

Taufik Ginanjar, "Kapan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H di Indonesia dan Saudi Arabia?", https://www.persis.or.id/kapan-idul-fitri-1-syawal-1444-h-di-indonesia-saudi-arabia, diakses 8 April 2023

T. Djamaluddin, "Menjawab Kesalahan Pemahaman Tokoh Muhammadiyah Tentang Imkan Rukyat dan Upaya Mencari Titik Temu", https://tdjamaluddin.wordpress.com/2023/03/27/menjawab-kesalahan-pemahaman-tokoh-muhammadiyah-tentang-imkan-rukyat-dan-upaya-menuju-titik-temu/, diakses 8 April 2023

T. Djamaluddin, "Alhamdulillah Sepakat Demi Titik Temu Untuk Kemaslahatan Ummat", https://tdjamaluddin.wordpress.com/2023/03/16/alhamdulillah-sepakat-demi-titik-temu-untuk-kemaslahatan-ummat/, diakses 8 April 2023

Agus Purwanto, "Catatan Atas Kritik Thomas Djamaluddin Perkara Wujudul Hilal", https://ibtimes.id/catatan-atas-kritik-thomas-jamaluddin-perkara-wujudul-hilal/, diakses 27 April 2023

Hamka, "Saya Kembali Ke Rukyah", Firma Islamiyah, Medan, 1972

No comments:

Topik Sebelumnya

Penting:
Silahkan memperbanyak atau menyebarkan materi-materi dalam situs ini tanpa ijin apapun dari penulis.

Visitors/Hits